(Opini) Daulat Rakyat

By Admin


nusakini.com - SEJARAH lahirnya demokrasi memang tidak bisa dipisahkan dengan munculnya kesadaran kedaulatan rakyat. Di Yunani kuno, --rahim yang melahirkan demokrasi itu-- masyarakat  adalah juga warga polis (kota) yang demikian paham bila "eksistensi" mereka sangat tergantung pada arah perkembangan kota. Mereka adalah pemilik kota,  pemegang kedaulatan utuh dari keberadaan kota tersebut.

Dalam kesadaran warga polis Yunani ini, demokrasi sama dan sebangun dengan "pencerahan" eksistensi rasionalitas warga dalam melihat dirinya sendiri. Tak ada demokrasi dalam kerumunan "massa". Dengan kata lain, demokrasi akan tegak dengan pilar kesadaran "warga", bukan dalam gemuruh irasionalitas massa. Inilah yang menjadikan demokrasi terlihat demikian "rumit" dibanding sistem lain semisal kerajaan atau model kekuasaan lain. Karena di sana, dinamika dealitika demikian terasa "heboh" antara kepemimpinan (baca: pemerintahan) dan pemegang kedaulatan (baca:warga).

Lalu realitas politik dan zaman terus berkembang. Demokrasi dan kedaulatan mengalami semacam face out terus-menerus. Warga polis (kota) sebagai anak kandung demokrasi mengalami perluasan sejak institusi negara mengalami penguatan. Warga negara pun dilahirkan di sana dan partai politik pun kemudian mewadahinya dalam menghimpun, mengelola serta memperjuangkan  aspirasi para warga negara ini. Semuanya terasa indah dan ideal "diatas konsep".

Persoalan yang kemudian hadir adalah ketika, demokrasi dan kedaulatan warga negara ini tidak mengalami gelombang "frekuensi" yang sama dengan wadah aspirasi mereka dalam partai politik. Partai politik lalu hanya menjadi pemenuhan kepentingan segelintir elite dengan menjadikan warga negara sebagai komoditas semata. Dengan demikian jarak antara warga negara dan partai politik yang mewakilinya menjadi demikian mengalami kesenjangan. Lalu kedaulatan warga negara pun mengalami pengebirian yang demikian sistematis. Inilah wajah demokrasi kita ketika rezim orde baru menancapkan tonggak kekuasaannya.

Agaknya sejarah demokrasi dan kedaulatan yang mengiringinya memang senantiasa mengalami "turbulensi". Demokrasi murni  dengan cara pemilihan langsung pun di letakkan kembali dalam sistem kedaulatan rakyat ini. Rakyat memilih langsung siapa pun pemimpinnya atau wakil mereka dalam menjalankan kota atau negara. Rakyat kemudian dijadikan subyek politik di sana dengan segala hak kewarga-negaraannya. Daya kritis, nalar serta rasionalitas rakyat menjadi medan pertaruhan. Di sana, pendidikan politik warga negara digodok dalam "kawah canradimuka". Trial and error juga banyak mewarnai gerak belajar warga dalam mencoba memaknai kedaulatan tersebut.

Namun bagaimanapun, gerak pembelajaran politik menjadikan kita menaruh banyak harapan. Partisipasi warga yang menandai gerak politik kita semakin hidup. Di sana, warga negara pun mengalami pertumbuhan kesadaran bila merekalah yang menentukan arah kota atau negara ini. Demokrasi memang membutuhkan partisipasi rakyat, dan itu perlahan telah berbenih dalam kesadaran warga negara kita.

Dan turbulensi kedaulatan ini kembali terasa akhir-akhir ini. Beberapa partai politik lewat wakil mereka di dewan ingin mengembalikan model pemilihan di mana warga negara/kota tidak lagi terlibat langsung. Mengembalikan pemilihan pada segelintir elite politik di dewan perwakilan memang adalah cara paling gampang dalam usaha partai "mendikte" kepentingan politiknya. Jauhnya distansi antara rakyat (warga negara/kota) dan partai menyebabkan kepentingan elite merasa "gamang" dan semakin kehilangan sumberdaya ekonomis serta kekuatan pemaksaan. Dengan dalih yang terkesan agak naif, politik kedaulatan warga negara ingin diamputasi.

Memang terasa menyakitkan melihat bagaimana tingkah beberapa partai politik  lewat anggota dewan terasa semakin jauh dari fungsi semestinya. Kedaulatan rakyat lantas menjadi semacam "bungkus" yang demikian gampang dibuang bahkan dijadikan "sampah" politik semata. Partai politik kemudian menjelma menjadi "maling kundang" yang mendurhakai ibu yang melahirkannya. Dan warga negara pun kemudian di "balsem" kembali dalam wajah purbanya: hanya sekedar kerumunan massa tak berbentuk.* (Makmur Gazali, penulis adalah jurnalis)